Redaksi

Pemimpin Umum: Mahsin * Wkl Pemimpin Umum: Maruli Agus Salim * Pemred/Penjab: As Atmadi * Redpel: Edy Priono * Pemimpin Perusahaan: Kaya Hasibuan

Rabu, 22 Desember 2010

Korupsi Menggurita Rp10 T Mengendap

Medan-ORBIT: Korupsi menggurita di Sumut. Bukan kepalang tanggung, secara komulatif, ada sebanyak Rp10 triliun uang hasil korupsi mengendap di sejumlah bank swasta dan pemerintah.


Informasi dikumpulkan Harian Orbit hingga Selasa (21/12),  lemahnya kinerja Polri dan kejaksaan menyebabkan penanganan kasus korupsi di Sumatera Utara (Sumut) lamban bahkan jalan di tempat.

Akibatnya, perekonomian rakyat dan keuangan negara menjadi keropos karena ulah para koruptor. Fakta ini mendekati kebenaran dan diakui Direktur Eksekutif Lembaga Swasdaya Masyarakat (LSM) Aliansi Masyarakat Independen Pemantau Kinerja Aparatur Negara (AMIPKA), David Ridwan Betz (foto), ketika berada di Medan dari Jakarta, kemarin.

Menurutnya kasus korupsi di  Sumut sudah  cukup luar biasa, bahkan sudah menggurita bagaikan binatang rayap. Bahkan hampir seluruh instansi pemerintah baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)  di daerah ini disusupi praktik korupsi di Sumut.


Kasusnya sudah sejak lama berlangsung secara sistematis, rapi dan berjamaah sehingga sulit diberangus hingga ke akar-akarnya.

David berpendapat, mengguritanya kasus korupsi di Sumut dikarenakan institusi kejaksaan dan kepolisian tidak bekerja secara maksimal. Jika ke dua instansi hukum ini bekerja secara masksimal diyakini  kasus-kasus korupsi di daerah ini  dapat ditangani secara seksama, lancar dan tuntas.

“Namun karena lemahnya kinerja aparat Polri dan kejaksaan maka penanganan kasus korupsi di daerah ini menjadi lamban bahkan jalan di tempat,”  ujar Ridwan.

Selain itu, aparat penegak hukum di daerah ini diduga masih melek (melotot) melihat uang sehingga ‘mesin’ hukum tidak berjalan akibat disumbat mesin ATM. Dia mensinyalir banyak kasus korupsi di Sumut sengaja diendapkan untuk dijadikan sebagai mesin ATN oknum pejabat penegak hukum tertentu.

Karena  menurutnya, untuk dapat menumpas segala bentuk korupsi harus terlebih dahulu dibenahi moral aparat penegak hukum di daerah ini. Artinya, segenap aparat penegak hukum harus dituntut supaya lebih mengutamakan kepentingan negara dalam hal ini penegakan supremasi hukum dibanding  kepentingan pribadi.

Apabila aparat penegak hukum lebih mengutamakan kepentingan pribadi, maka kepentingan hukum akan tertinggal. Sehingga para koruptor semakin leluasa menggerayangi, menguras, mengkorup harta atau kekayaan negara ini.
Tak Satu Bahasa
Satu hal yang paling mencolok, ujar Ridwan, selama ini aparat penegak hukum antara polisi dan kejaksaan dalam menangani suatu kasus korupsi, tampaknya tidak satu bahasa. Kedua institusi hukum ini bagaikan berseberangan atau melakukan dengan caranya sendiri-sendiri.

“Sering kita jumpai dalam penanganan suatu kasus korupsi  oleh pihak kepolisian yang berkasnya dirasa sudah P21 (lengkap) dan dikirim ke kejaksaan untuk ditindak-lanjuti ke pengadilan.  Tetapi tak jarang pula  pihak kejaksaan mengembalikan berkas tersebut dengan alasan belum lengkap,” kata Ridwan.

Sehingga akhirnya, jelas Ridwan, berkas perkara korupsi dimaksud terus bolak-balik sehingga penanganannya tidak jelas alias lenyap begitu saja.  

Sejalan dengan itu, tegas Ridwan, LSM AMIPKA yang berkantor Pusat di Jalan Raya No.47 Menteng Dalam Jakarta itu minta kedua institusi penegak hukum di negeri ini supaya menyamakan pandangan atau visinya dalam menegakkan supremasi hukum. Setelah kedua institusi tersebut dibenahi secara bagus diyakini pemberantasan korupsi akan jalan dengan baik pula.

Dimulai dari BawahDavid selanjutnya berkesimpulan, pemberantasan korupsi harus dimulai dari bawah semisal walikota/ bupati, SKPD, Kabag, seksi  hingga camat. Karena di wilayah hukum walikota dan bupatilah anggaran itu dikelola.

Tentu yang paling potensial menangani kasus penyelewengan di tingkat kota dan kabupaten menurutnya adalah pihak kejaksaan dan kepolisian.

Misalnya, Dinas Pekerjaan Umum (PU) di kabupaten/kota maupun provinsi merupakan sentral proyek yang menangani proyek fisik atau jalan secara multi sektoral.

Proyek ini umumnya ada yang ditangani secara fiktif maupun mark up demi meraup keuntungan yang sangat besar, katanya.

Rp10 T MengendapDavid membeberkan, saat ini sedikitnya Rp10 triliun uang para koruptor mengendap di sejumlah bank swasta maupun pemerintah dengan cara mengatas-namakan pihak ke 3 atau orang lain.

Artinya, oknum pejabat korup di daerah ini menyimpan uangnya ke bank atas nama  rekening orang lain, keluarga, kolega dan sebagainya. Bahkan ada sebagian koruptor menyimpan uangnya di bank luar negeri seperti Singapura.
“Hal ini dilakukan para koruptor untuk menghindari deteksi, penyelidikan pihak berwenang,” ujarnya.

Kasus ini sedang didalami LSM AMIPKA ke sejumlah bank swasta dan pemerintah baik di Sumut maupun daerah lainnya, termasuk perbankan di Jakarta. Dia menegaskan, kasus ini harus dikejar mengingat selama ini Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dilaporkan ke KPK tidak sesuai jumlah nominal.

Ada sinyalemen bahwa sejumlah laporan harta kekayaan pejabat negara di Sumut tidak sesuai fakta sebenarnya. Data kekayaannya dimanipulasi.  Untuk itu, Tim KPK berikut Pusat Pengawas  Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) harus melakukan check balance untuk verifikasi  data tersebut, ujarnya.

Menurut David, AMIPKA saat ini sedang menurunkan Tim Investigasi dari Jakarta ke Sumut untuk mengusut dana Rp10 triliun milik oknum pejabat korup di Sumut yang parkir di sejumlah bank di negeri ini diawali dari Sumut.

Terkait persoalan ini,   Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian dan kejaksaan supaya mengusut dana Rp10 triliun tersebut siapa saja pemiliknya. Bila ditemukan, oknum pemilik uang tersebut supaya diseret ke penjara dan uang tersebut disita untuk negara, ujarnya. Om-24    
<!--baca selengkapnya-->

Tidak ada komentar: