* PKL Tolak Pajak 10 Persen
PKL dikenai pajak 10 persen, Dispenda mengada-ada. Kalau mau lahan mendapatkan uang, jangan PKL digarap.
Medan-ORBIT: Pedagang kaki lima di Medan dikenakan pajak 10 persen dipertanyakan, sehingga menimbulkan reaksi masyarakat yang mempertanyakan apakah pantas pedagang kecil dikenakan pajak. Sementara pengusaha besar terus ngemplang pajak sampai ratusan miliar.
<!--baca selengkapnya -->
Informasi yang dihimpun Harian Orbit Selasa (2/11) dari berbagai sumber benar-benar menjadi pertanyaan panjang. Selain pedagang kaki lima (PKL) keberatan dan menolak pajak 10 persen merupakan kebijakan Dinas Pendapatan Medan, ada pula yang menganggap dengan PKL bayar pajak berarti sah berdagang di kaki lima.
Pemungutan pajak penghasilan (PPh) sebesar 10 persen terhadap PKL dinilai memberatkan. Sebab penghasilan PKL yang didapat belum memadai untuk dibebankan wajib pajak. Jadi jika Peraturan Daerah (Perda) No 12/2003 tentang Pajak Daerah akan diberlakukan untuk PKL sangat memberatkan.
Hal itu dikatakan Anjar, pemilik warung kopi Jalan SM Raja Medan, kemarin. Ia menambahkan, Perda tersebut harus dipertimbangkan, pemerintah harus bijak. “Jangan seenaknnya saja mewajibkan pajak 10 persen bagi pedagang kaki lima, sementara pemilik usaha besar masih banyak yang mengemplang pajak,” ungkapnya.
Lanjut Anjar, PKL tidak setuju dengan Perda itu, dan menolak pajak 10 persen yang dikenakan kepada PKL. “Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja kurang, malah dikenakan bayar pajak,” tujkas Anjar dengan kesal.
Rp600 ribu PerbulanSementara itu, anggota DPRD Medan dari Komisi C A Hie menjelaskan, pajak 10 persen yang dibebankan kepada pedagang kaki lima merupakan pajak penjualan, bukan pajak bagi pemilik. Sehingga beban bayar pajak tidak memberatkan bagi pedagang.
Namun, terang A Hie, Dinas Pendapatan Kota Medan harus mengklarifikasi besar pajak 10 persen bagi pedagang kaki lima. Karena, para pedagang menilainya terlalu besar.
“Dinas Pendapatan kota Medan harus bijak untuk mengambil sikap, jangan sampai keputusan wajib pajak dapat menimbulkan perseteruan bagi pedagang kaki lima. Dengan mencek langsung ke lapangan, siapa saja yang dapat dikenakan wajib pajak., sehingga Perda tersebut tepat sasaran,” ungkapnya.
Sebelumnya Kepala Dinas Pendapatan Kota Medan, Syahrul Harahap mengatakan kebijakan itu sesuai surat edaran No 973.SE/ 706.3. Dalam dokumen itu tertera aturan tersebut didasarkan pada Perda Kota Medan No 12/2003. Restoran, rumah makan, kafetaria, bar, kantin, warung jual makanan, dan PKL dikenai pajak daerah.
Dijelaskan Syahrul, adapun Pajak yang dikutip dari PKL dengan kriteria yang sudah berpenghasilan Rp600ribu per bulan,” ujar Syahrul Harahap.
Anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan, Hasyim SE kelihatannya setuju PKL dikenai pajak sebesar 10 persen. Bahkan mengimbau kepada Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) harus segera mensosialisasikan pajak 10 persen untuk PKL.
Tidak Pantas Kena PajakSementara anggota DPRD Medan, Ilhamsyah, menyebutkan Dispenda harus mempunyai hati nurani dalam pengutipan pajak 10 persen bagi PKL. Masih banyak yang lain bisa dikutip pajak, mengapa harus PKL.
Ilhamsyah mengaku memang ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang pajak 10 persen dikutip bagi PKL. Tapi PKL yang bagaimana bisa dikutip 1o persen itu.
Sebaiknya Dispenda harusnya meninjau ulang pengutipan pajak 10 persen dari PKL. Menurut salah seorang pedagang kopi di Medan, Tengku bertanya, apakah kalau PKL sudah bayar pajak bebas dari penggusuran?
“Selan itu kami bebas dari pungli atau pajak premen yang terkadang jumlahnya lebih besar dari pajak 10 persen sesuai Perda itu. Jadi jangan seenaknya membuat peraturan tanpa melakukan survey di lapangan,” sergahnya.
Untuk itu Ilhamsyah tidak sepakat PKL dikenai pajak 10 persen. Dia menganggap Dispenda mengada-ada. “Kalau mau mencari lahan mendapatkan uang, jangan PKL digarap. Kayak nggak ada yang lain saja. Masih banyak lahan basah bisa dipungut pajak 10 persen,” tegas Ilham.
Kalau mengutip pajak 10 dari PKL yang hanya menjual minuman dan makanan ringan seperti warung kopi, jelas Hasyim, harus dipikirkan ulang. Sebab para PKL yang hanya menjual makanan dan minuman ringan, tidaklah pantas kena pajak 10 persen.
Tidak Ada AlasanPKL kebanyakan dari kalangan masyarakat yang ekonominya lemah. Kalau sampai warkop terkena pajak, otomatis rakyat yang minum juga terkana imbasnya dengan harga yang dinaikkan, akibatnya omset penjualan warkop bisa menurun. Ujungnya memunculkan masalah baru terkait pengangguran.
Apabila pemerintah mau menambah APBD dari sektor masukan pajak, ungkap aktivis Bela Rakyat, Didit, tertibkan saja pengusaha yang mengemplang pajak yang jumlahnya ratusan miliar. “Jadi jangan rakyat kecil dikenai pajak, sementara uang negara lenyap dipermainkan Markus pajak seperti Gayus itu,” ujar Didit.
Salah seorang praktisi hukum Zulheri Sinaga malah mempertanyakan penerapan pajak PKL 10 persen itu. “Kalau PKL dikenakan pajak boleh-boleh saja, tapi angka 10 persen yang dipatokkan tolok ukurnya apa? Sesudah itu jelas baru bisa diterapkan,” kata Zulheri, kemarin.
Pada penerapannya pajak PKL 10 persen masih menimbulkan pro dan kontra, angka 10 persen oleh beberapa pihak masih dianggap terlalu besar, belum lagi aksi pemerintah yang sedang asik-asiknya melakukan penggusuran kepada PKL.
“Sepuluh persen saya anggap masih terlalu besar dan kita takutkan hanya menambah masalah baru. Nah kalau perda itu diterapkan berarti PKL jadi legal dan tidak ada alasan pemerintah untuk melakukan penggusuran PKL lagi,” tambahnya. Om-17/Or-08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar