* Bagi Hasil Perkebunan Tak Adil, Pusat Harus Dilawan
Medan-ORBIT: Keinginan Sumatera Utara (Sumut) melepaskan diri dari ‘belenggu’ pemerintah pusat mengemuka.
Medan-ORBIT: Keinginan Sumatera Utara (Sumut) melepaskan diri dari ‘belenggu’ pemerintah pusat mengemuka.
Informasi dikumpulkan Harian Orbit hingga Senin (3/1) diketahui, pemicunya terkait bagi hasil perkebunan yang tak adil diberikan pusat ke Sumut.
Padahal hasil perkebunan seperti sawit dan karet, nilainya mencapai dua triliun per tahun. Atas persoalan itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Provsu) dan DPRD Sumut sudah berulang kali meminta bagi hasil itu ke pusat, namun tak kunjung terealisasi.
Alhasil, untuk menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD), Provsu dan DPRD Sumut, banyak melahirkan Peraturan Daerah (Perda) yang membebani masyarakat.
Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur Sumatera Utara (Wagubsu) Gatot Pujo Nugroho mengatakan, tidak adilnya bagi hasil perkebunan dilakukan pemerintah pusat ke Sumut, dapat menimbulkan gejolak di didaerah ini.
Jangan sampai kata Gatot, gara-gara pusat tidak adil, muncul keinginan Sumut untuk merdeka.
“Jangan sampai ketidakadilan ini membuat kita (Sumut) berpikir untuk merdeka,” ucapnya.
Sedangkan anggota Komisi C DPRD Sumut, Mulkan Ritonga, menyebutkan, perjuangan untuk mendapatkan hak bagi hasil perkebunan seperti sawit dan karet sudah dilakukan jauh hari.
Namun, pemerintah pusat tidak memiliki political will untuk merevisi Undang-undang (UU) No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
UU tersebut, kata Mulkan harus direvisi sebab, dari sisi perimbangan daerah, bagi hasil yang diperoleh dari sektor perkebunan merugikan Sumut.
“Saya kira, tidak direvisinya UU tersebut merupakan cara mereka (pusat) untuk tetap memonopoli hasil kekayaan daerah ini,” ucapnya.
Menurut Mulkan, anggota DPR RI asal Sumut harus mengambil peran mendorong percepatan revisi UU tersebut.
“Ada 30 orang anggota DPR RI asal Sumut yang berada di Senayan. Secara moral mereka harus mendorong percepatan revisi UU itu, untuk kepentingan daerah ini,” ungkapnya.
Lawan
Sedangkan Ketua Komisi C DPRD Sumut, Edi Rangkuti menyebutkan, sudah saatnya rakyat melakukan ‘perlawanan’ kepada pemerintah pusat menuntut bagi hasil perkebunan.
Sehingga, kata H Eddi Rangkuti, masyarakat tidak lagi terbebani dengan banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang bertujuan untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Banyak sumber pendapatan yang digali untuk meningkatkan PAD Provsu. Namun dikhawatirkan sumber PAD yang digali tersebut dapat membebani masyarakat,” kata H Eddi Rangkuti.
Menurut Eddi, kalau saja pemerintah pusat mau memberikan bagi hasil perkebunan, tentu tidak perlu lagi lahir Perda untuk menambah PAD.
“Pemerintah Pusat sudah terlalu lama menikmati hasil perkebunan dari daerah. Sudah saatnya lakukan perlawanan,” kata Eddi Rangkuti.
Diketakan, di Sumut banyak perusahaan perkebunan, seperti PTPN yang meraup keuntungan miliaran rupiah. Tapi tidak ada bagi hasil dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Karena itu, Eddi meminta Provsu bersama DPRD Sumut tidak tinggal diam kesewenangan pusat itu. “Kalau terus-terusan diam seperti ini, dikhawatirkan kita tidak akan mendapatkan bagi hasil ini,” kata Eddi Rangkuti.
‘Memberontak’
Politisi PDIP ini mengaku heran, sebab daerah lain yang melakukan pemberontakan dan ancaman ke pusat, di penuhi permintaan bagi hasil itu.
Dia mencontohkan, daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Riau yang telah menerima 70 persen dari hasil buminya. “Apakah kita harus memberontak dulu, baru pusat memberikan bagi hasil itu? Jika demikian biar kita memberontak,” tegasnya.
Untuk itu, Eddi mengingatkan semua elemen masyarakat untuk tetap berkomitmen memperjuangankan bagi hasil perkebunan itu, agar masyarakat tidak terbebani dengan berbagai macam kutipan. Or-06
sumber foto: www.medansatu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar