Redaksi

Pemimpin Umum: Mahsin * Wkl Pemimpin Umum: Maruli Agus Salim * Pemred/Penjab: As Atmadi * Redpel: Edy Priono * Pemimpin Perusahaan: Kaya Hasibuan

Rabu, 08 Desember 2010

Periksa Pimpinan DPRDSU

* Gedung Baru DPRDSU Tambah Modal Rp14,5 M Tanpa Prosedur

Aroma ‘perselingkuhan’ oknum pimpinan dewan dengan Pemprovsu terkait penambahan anggaran senilai Rp14,5 miliar menyengat tajam. Anehnya anggota Badan Anggaran (Banggar) dan di antara pimpinan dewan ada yang tidak mengetahui penambahan modal melalui addendum (tambahan klausul) itu.

Medan-ORBIT: KPK pantas untuk memeriksa lima pimpinan DPRDSU termasuk ketuanya H Saleh Bangun. Pasalnya, penambahan anggaran kelanjutan pembangunan gedung baru dan pembongkaran gedung lama DPRDSU di Jl Imam Bonjol Medan itu disinyalir tanpa prosedur.
<!--baca selengkapnya-->

Sejumlah anggota Banggar DPRDSU mengaku tidak dilibatkan dalam proses addendum itu, termasuk di antara pimpinan DPRDSU tidak mengetahui pencairan dana Rp14,5 miliar itu. Parahnya lagi, pembangunan gedung baru dan pembongkaran gedung lama tetap saja terkendala.

Indikasi penyimpangan uang rakyat melalui proses addendum kian terang. Informasi dikumpulkan Harian Orbit, hingga Selasa (7/12) diketahui, mekanisme pengelontoran uang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Sumut tidak sesuai aturan.

Seharusnya, pencairan dana Rp14.5 M atas nama addendum tersebut melalui proses penggodokan di tingkat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sumut untuk disetujui.

Menyeruak kabar, mekanisme pencairan uang rakyat bernilai puluhan miliar itu ‘dikangkangi’ dan peran Banggar ‘diambilalih’  unsur pimpinan dewan. Artinya, pimpinan DPRD Sumut disinyalir mengambil keputusan pribadi untuk pencairan dana Rp14.5 M itu.

Sumber lain Harian Orbit, yang juga anggota DPRD Sumut tegas mengatakan, hampir semua pimpinan fraksi tidak mengetahui pembahasan addendum tersebut di tingkat Banggar.

Tak hanya itu, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi D DPRD Sumut dengan pemenang tender proyek tersebut yakni PT Jakon, terungkap, proses addendum itu dilakukan saat kontraktor sudah menjalankan kontrak kerja atau tepatnya, bulan Mei 2010 lalu. Artinya, addendum dibuat bukan berdasarkan hitungan kebutuhan pembiayaan gedung DPRD Sumut, melainkan tanpa dasar yang jelas.

Atas permintaan addendum itu pula, menyebabkan kontraktor ‘menelantarkan’ pengerjaan gedung DPRD Sumut, yang akhirnya hingga kini pembangunannya terbengkalai. Padahal, pengucuran dana itu telah disetujui bulan September 2010 lalu.

Atas tudingan adanya ‘restu’ Pimpinan DPRD Sumut dalam pengucuran dana Rp14.5, Wakil Ketua DPRD Sumut asal partai Golkar, Chaidir Ritonga, saat dikonfirmasi Selasa (7/12) mengaku, sering bergantinya kepemimpinan Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Sumut, menjadi alasan tidak jelasnya siapa pemegang kuasa anggaran untuk addendum itu.

“Kuasa anggaran itu sebenarnya bukan ada di legislatif, melainkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) khususnya Sekwan DPRD Sumut. Namun karena sering bergantinya kepemimpinan Sekwan, akhirnya tidak jelas siapa pemegang kuasa anggarannya,” kilah Chaidir.

Dikatakan,  muncul informasi pengucuran addendum Rp14.5 M itu tanpa dibahas melalui Banggar, dia tidak mengetahuinya. Namun dia mengakui, bila pengucuran dana itu tanpa proses Banggar maka akan berhadapan dengan hukum.  “Hari gini melanggar mekanisme sangat berbahaya, bisa berhadapan dengan hukum,” akunya.

Sedangkan Wakil Ketua DPRD Sumut asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sigit Pramono Asri saat dikonfirmasi mengaku tidak mengetahuinya. “Saya tidak tahu, tanya saja Sekwan,” ucapnya ketus. 

Berbeda dengan Sigit, anggota Banggar yang juga dari FPKS DPRD Sumut, Hidayatullah, ternyata mencium adanya aroma ‘perselingkuhan’ antara oknum dewan dengan Pemprovsu terkait mengucurnya addendum Rp14.5 M.

Kata Hidayatullah, sungguh aneh bila pengucuran dana sebesar itu tidak diketahui satu orang pun anggota dewan. Dijelaskan, dewan memiliki alat kelengkapan terkait pengucuran dana. Pertama ada Banggar dan kedua anggaran itu dibahas dalam komisi atau istilahnya anggaran berbasis komisi.

Menjadi keliru sebut dia, jika dalam dua alat kelengkapan dewan itu, tidak diketahui siapa yang melakukan legalisasi dana sebesar Rp14.5 tersebut. “Pasti ada oknum dewan yang melakukan legalisasi pengucuran addendum itu.
Kalau tidak, mana mungin bisa dicairkan,” sebutnya sambil menyarankan Harian Orbit bertanya kepada pimpinan dewan.

Namun Hidayatullah menegaskan akan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit khusus addendum tersebut. Politisi ini mengaku miris bila fungsi pengawasan dewan justeru dicederai segelintir oknum yang ingin mencari keuntungan pribadi.

“Jangan sampai disarang sendiri, dewan ‘berselingkuh’ hingga menumpulkan pengawasan yang melekat pada dirinya. Kita akan kejar masalah ini, hingga diketahui siapa dalang yang bermain di belakang pengucuran Rp14.5 miliar itu,” tegasnya.

Sayangnya Ketua DPRDSU H Saleh Bangun ketika dikonfirmasi melalui telepon selularnya, Selasa (7/12) petang, tidak berkenan melayani panggilan telepon. Demikian dengan SMS berupa permohonoan waktu untuk dikonfirmasi terkait inprosedural addendum itu, hingga berita ini diluncurkan Saleh Bangun belum menjawab.
                                                 
Biaya Bongkar
Diketahui, persoalan pembangunan Gedung baru DPRD Sumut menelan biaya sebesar Rp171 M oleh PT Jaya Konstruksi (Jakon) kian rancu. Tidak hanya membuka tabir dugaan indikasi korupsi atas penyelewengan uang rakyat Rp14,5 miliar melalui adendum itu.

Belakangan, PT Jakon tidak mampu menyelesaikan pekerjaan pembongkaran gedung lama DPRD Sumut untuk ruang paripurna. Alasannya, tidak ada biaya untuk pekerjaan itu.

Ketiadaan biaya pembongkaran itu, terungkap dari Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Sumut Nirmaraya Siregar saat digelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) lanjutan Komisi D DPRD Sumut dengan konsultan perencanaan PT Arkonin, PT Arkitek dan pelaksana proyek PT Jakon, dipimpin Ketua Komisi Maratua Siregar, Senin (29/11) lalu.

Nirma menyebutkan, dalam budget yang disediakan, selaku pemberi anggaran, pihaknya hanya menganggarkan pelaksanaan fisik dan kegiatan pembangunan gedung DPRD Sumut yang lokasinya berdekatan dengan gedung dewan yang sama.  “Jadi dana bongkar gedung induk tidak included,” jelas Nirmaraya dalam pertemuan itu.
 
Belum Diaddendum
Atas pernyataan itu, Anggota Komisi D DPRD Sumut, Jamaluddin Hasibuan merasa terkejut. Kata dia, dalam kontrak kerja disebutkan biaya Rp171 M belum diaddendum, diperuntukan untuk dua pekerjaan yakni,  pembangunan gedung DPRD Sumut yang baru  dan merubah gedung lama menjadi ruang paripurna. “Ada apa ini, mengapa dananya tidak ada,” kata Jamal.

Menurut politisi dari Partai Demokrat itu, harusnya sudah dipikirkan matang-matang Rancangan Anggaran Biaya (RAB) pastilah menyertakan pembongkaran gedung induk, karena lokasinya saling berdekatan. “Kita tidak mengerti, mengapa bisa seperti ini,” papar Jamaluddin.

Jamaluddin makin heran lagi, karena tanpa penjelasan yang memadai, dalam rapat sebelumnya, PT Jakon selaku pelaksana kontruksi bisa mengadendum anggaran Rp 14.5 M untuk penambahan ruang gedung yang semula 80 ruangan menjadi 100 ruangan.

Persekongkolan
Sedangkan Sekretaris Komisi D DPRD Sumut, Tunggul Siagian mengatakan, tertundanya renovasi bangunan DPRD Sumut yang lama untuk dijadikan ‘rumah demokrasi’, akibat adanya ‘persekongkolan’ antara PT Arkonin dengan PT Jakon. Dia menduga, pelaksana sengaja tidak memasukkan dana pembongkaran gedung DPRD Sumut yang lama dalam perencanaan.

Padahal, katanya, biaya pembongkaran diestimasi sebesar Rp200  juta tidak dicantumkan oleh pihak perencanaan. Sementara, pihak perencanaan dan pelaksana masih satu perusahaan yang jelas-jelas melanggar peraturan.
“Kita minta pertanggungjawaban perencanaan, kenapa biaya pembongkaran gedung lama itu tidak dicantumkan,” ujarnya.

Sungguh miris, kata Tunggul, adanya addendum untuk proyek gedung DPRD Sumut yang disetujui Nopember 2010 sebesar Rp14.5 M.

Akibat adanya perubahan pekerjaan, dari awal dianggarkan biaya proyek pembangunan gedung DPRD Sumut sebesar Rp171 M, sehingga biaya proyek DPRD Sumut seluruhnya mencapai Rp185 M.

“Sudah diaddendum Rp14.5 M itupun biaya pembongkaran gedung lama tidak juga dimasukkan. Apa mungkin perusahaan besar tidak tahu ada pembongkaran gedung lama dalam rangka proyek pembangunan gedung DPRD Sumut. Ini semua tidak masuk diakal dan kita tetap minta pertanggung-jawaban pihak perencanaan,” tegasnya lagi.

Untuk itu, tandas Tunggul dari Fraksi Partai  Demokrat ini, Komisi D DPRD Sumut akan meminta dilakukannya diaudit kualitas pekerjaan dan penggunaan anggaran proyek pembangunan DPRD Sumut. Karena,  pekerjaan baru 50 persen tapi sudah dilakukan addendum sebesar Rp14.5 M yang tentunya dana tambahan itu berasal dari uang rakyat.

Simpang siurnya informasi dan muncul berbagai persepsi  keliru, rapat yang diketuai H Maratua Siregar  terkesan bertele-tele dan melebar tak tentu arah.

Semula pertemuan kemarin diproyeksikan untuk membahas addendum anggaran Rp14,5 M oleh PT Jakon, namun tidak tidak terfokus lagi, karena obyek pembicaraan lebih didominasi masing-masing pendapat anggota dewan.

Rapat juga berakhir tanpa kesimpulan mengenai pembongkaran gedung induk akan dilelang atau melihat kemungkinan sisa anggaran pembangunan gedung DPRD Sumut bisa dialokasikan untuk meruntuhkan gedung induk yang diresmikan tahun 1974 itu. Or-06

Tidak ada komentar: