* Keyboard Amoral Merebak di Sergai
Medan-ORBIT: Sebagai masyarakat yang berbangsa, bermartabat dan beradat senantiasa menolak bentuk-bentuk maksiat. Namun berbeda dengan masyarakat Serdangbedagai (Sergai) yang bebas setengah bugil menampilkan Keyboar Mak Lampir.
Anehnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Segai terkesan membiarkan pertunjukan Keyboad Mak Lampir yang amoral merebak di masyarakat. Hal itu mendapat sorotan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa elemen masyarakat.
Merebaknya keyboard tidak bermoral, membuat Bupati Sergai menjadi sorotan tajam. Informasi yang dikumpulkan Harian Orbit, Selasa (12/10), Sekjen MUI Sumut, Prof Dr Hasan Bakti Nasution MA mengatakan, merebaknya tarian setengah bugil di Sergai merupakan kegagalan pemimpinnya, yakni T Erry Nuradi.
Dijelaskannya, jika merujuk pada pesan agama yakni, jika engkau melihat keburukan maka ubahlah dengan tanganmu, dan jika tidak mampu dengan lisanmu juga tidak mampu maka dengan doa mu.
Realisasi dari pesan agama itu, jelasnya, seharusnya Erry Nuradi lebih mempunyai kompetensi mengubah keburukan dengan tangannya sendiri, karena dia memegang tampuk pemerintahan tertinggi di kabupaten itu. “Kan tidak mungkin tangan rakyat melakukannya, nanti bisa kena pidana pengrusakan dan lain sebagainya,” ujar Prof Dr Hasan Bakti.
Terkait merebaknya pertunjukan setengah bugil di depan umum itu, dahulu MUI pernah mengeluarkan teguran dengan menyurati Pemkab Sergai, namun tampaknya seiring perjalanan waktu itu telah terabaikan.
“Untuk itu dalam waktu dua hari lagi kita segera akan menyuratinya untuk menegur Pemkab ‘tanah bertuah negeri beradab’ tersebut agar melakukan penertiban dan membuat aturan yang tegas,” katanya.
Dia juga menyinggung, jika surat tersebut tidak diabaikan maka jangan dipersalahkan bila masyarakat di daerah tersebut nantinya, akan menjadi marah didorong tersinggungnya lembaga-lembaga agama di sana.
Harus Diberangus
Di tempat terpisah, pakar ilmu komunikasi Yose Rizal Saragih, yang juga Ketua Generasi Muda Karya Inti Antar Rakyat (GM Kiara) Serdangbedagai mengatakan, dalam ranah ilmu komunikasi diam merupakan sinyalemen sikap setuju dan mendukung.
<!-- baca selengkapnya -->
“Artinya bila seorang pejabat negara atau kepala daerah tidak melakukan tindakan penertiban terhadap berbagai perbuatan amoral di wilayah kekuasaannya disinyalir mendukung perbuatan tersebut,” ungkap Yose Rizal.
Untuk itu tegasnya, pihaknya akan melakukan aksi terhadap prilaku amoral tersebut. Baik aksi yang agresif di tempat kejadian perkara maupun aksi damai di pelataran kantor Bupati Serdangbedagai.
Hal senada kembali ditegaskan Ketua Forum Mahasiswa dan Masyarakat Bersatu (FM2B) Serdang Bedagai, Rozi Albanjari, prilaku yang tidak terpimpin ini sudah cukup meresahkan dan berujung pada rusaknya moral generasi muda khususnya di Sergai.
“Bersama seluruh elemen masyarakat, yang merasa perbuatan amoral ini merupakan suatu bencana, dan harus diberangus akan segera melakukan aksi langsung di tempat-tempat penyelenggaraan keyboard atau organ tunggal striptis itu,” tandasnya.
Penyakit Sosial
Sementara psikolog Sriwahyuni MPsi menegaskan, timbulnya gejala-gejala prilaku amoral pada hubungan sosial terutama di sebuah daerah, menunjukkan adanya bentuk ketidaksesuaian hubungan kejiwaan antara pemimpin dan rakyat untuk membangun suatu daerah.
“Artinya telah ada bibit sekat-sekat psikologis atau ketidaksesuaiaan hubungan sosial antara pemimpin dan rakyat. Ini dapat berimbas buruknya pembangunan daerah itu ke depan,”
Karena, tambahnya, kalau lebih dirincikan lagi masyarakat dan pemimpinnya berjalan masing-masing. Sehingga berimbas pada tidak berjalannya pembangunan maupun program pembangunan.
Agar sekat-sekat psikologi ini tidak menjadi tebal, tegasnya, seluruh masyarakat dan muspika harus segera menyadarinya dan perlu mengubah hubungan pemimpin dengan masyarakatnya.
Dia juga membeberkan, timbulnya prilaku amoral seperti tarian striptis (setengah bugil) di tengah-tengah masyarakat, pada tataran kajian psikologis, ini merupakan wujud dari ketidaksesuaian hubungan sosial itu.
Pada tingkatan tertentu, dan bila ini menjadi semacam kebutuhan masyarakat terhadap tarian tersebut, maka ini dapat dikategorikan menjadi penyakit sosial yang terbilang kronis. “Sebab telah merambat kepada generasi muda sehingga membutuhkan waktu panjang untuk mengubah penyakit sosial ini,” ungkapnya.
Sedangkan efek dari tarian tersebut, tegas Wahyuni, tingkat kekerasan terhadap wanita baik pemerkosaan maupun perkawinan di bawah umur akan sangat meningkat tajam. Sehingga dalam tahap ini akan menimbulkan persoalan-persoalan baru yang tentunya penghalang jalannya pembangunan secara global. Om-20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar