* Perburuan Jabatan Libatkan Bos Legislator Deliserdang
Catatan Maruli Agus Salim
Wartawan harian Orbit
MENJABAT karena setoran, membuat prilaku korupsi semakin menggila. Kecelakaan sejarah pun harus ditanggung anak cucu bangsa Indonesia. Simak saja sekenario perburuhan kursi Dirut PT KIM, melibatkan keluarga bos legislator Deliserdang yang berani menjual kebesaran ‘istana’.
<!-- baca selengkapnya -->
Sudah menjadi rahasia umum, para ketua partai pemenang Pemilu 2009 berani memposisikan diri sebagai agen jabatan yang mengaku punya jalur ke ‘istana’. Ironisnya, bagi pemburu jabatan pun begitu gampang memercayai hingga uang yang tidak sedikit nilanya harus lewong demi jabatan itu.
Perburuhan kursi Dirut PT Kawasan Industri Medan (KIM) misalnya. Keluarga bos legislator Deliserdang diduga terlibat menjadi agen. Sekenario berhasil dimainkan, Rp505 juta pun lenyap. Tapi jabatan yang dijanjikan tak kunjung jelas, terpaksa pihak korban menempuh upaya hukum. Kini perangkat laporan kasus itu sedang digodok salah satu advokad di Medan.
Nama besar partai pemenang Pemilu Indonesia akhirnya tergadai. Hanya dikarenakan ulah oknum para petingginya. “Cara-cara seperti itu tidak membangun good governance (pemerintahan yang bersih),” kata Drs H Su’aibun MHum, dosen Hukum Tata Negara IAIN Sumatera Utara Medan.
Master hukum jebolan Universitas Islam Indonesia (UII) berkomentar, salah satu langkah membangun good governance adalah menerapkan sistem rekrutmen pejabat harus mengacu mekanisme, antara lain berdasarkan prestasi, bukan prestise.
Dikatakan, sebagai pejabat, publik juga harus dapat memberikan penilaian-penilaian objektif, bukan penilaian dengan kekuasaan semata.
Su’aibun yang juga melihat semakin meluasnya sekenario jual beli jabatan mulai dari tingkat atas hingga peringkat pemerintahan yang paling bawah. Bahkan di tingkat kepala lingkungan pun sudah mentradisi.
Kondisi itu menggambarkan bahwa demokrasi pemerintahan negara ini mengalami kemunduran yang sangat sighnifikan. Sehingga yang terjadi Indonesia mengarah kepada model pemerintahan yang otoriter. “Sikap itu bertentangan dengan gerakan kemajuan demokrasi di Indonesia”, katanya.
Prestasi Bukan Prestise
Menurutnya, pejabat kita tidak membangun kemampuan diri memperoleh jabatan melalui prestasi yang diperoleh, tapi prestise. “Biasanya kalau berdasarkan prestise, maka yang terjadi menghalalkan segala cara, berbeda jika dilakukan berdasarkan prestasi, bisa diukur,” jelasnya.
Dia menyarankan, saatnya memperoleh jabatan dengan parameter prestasi, sehingga banyak orang dapat melihat, tidak saja prestasi dan kemampuan, juga realitas dari kepemimpinan yang pernah dilakukannya.
Dikatakan, jabatan merupakan amanah. Jadi jika jabatan diisi oleh orang yang tidak amanah, indikatornya jelas mereka itu yang meminta-minta dan memburu jabatan. “Sangat sulit memprediksi seseorang amanah jika dia juga meminta-minta atau memburu jabatan itu dengan kekuatan uang dan koneksi,” katanya.
Su’aibun mengingatkan, pada masa Rasulullah SAW seorang sahabat bernama Abu Dzar, sempat mengeluh kepada Nabi, karena dia tidak didudukkan dalam satu jabatan. Ketika itu nabi mengatakan, jabatan itu amanah dan cukup berat.
Harusnya para pemimpin teratas negara ini bukan mendasarkan seseorang mendapat jabatan karena setoran. Juga bukan didasarkan kepada permintaan. Tapi berdasarkan penilaian-penilaian yang transparan yang dapat diukur. “Dengan demikian, masyarakat dan publik bisa mengetahui dasar pengangkatan seseorang dalam jabatan itu,” ujarnya.
Saran Su’aibun, wajib menjadi catatan merah bagi agen jabatan dan orang yang suka meminta jabatan dengan menjanjikan atau memberi setoran. Jika dibiarkan, kondisi hari ini akan terus menjadi kecelakaan sejarah sepanjang jaman. “Anak cucu di belakang yang akan menanggung penderitaan akibat perburuhan jabatan itu,” ujarnya.
Borok dan penyakit yang ditinggalkan pejabat hari ini, akan menjadi beban yang cukup berat bagi anak cucu bangsa yang tidak berdosa. “Cukup mahal tentunya yang harus dikorbankan akibat kecelakaan jati diri bangsa itu. Dan akan menjadi budaya sikap moral yang gampang melanggar hukum,” tegasnya.
Lihat saja realitas hari ini, kata Su’aibun, prilaku korupsi semakin menggila. Akibatnya good governance itu hanya sesuatu yang diangan-angankan saja.
“Tidak ada artinya pembangunan fisik negeri yang dilakukan hari ini jika pada akhirnya cucu bangsa hanya menanggung cacat moral,” ketus Su’aibun, seraya menambahkan, tak ada sesiapa pun yang mengidamkan kebejatan di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar